Rabu, 06 Mei 2015

DI TAMANMU KUSEMAI CINTA ABADI oleh: Misbach Tamrin

DI TAMANMU KUSEMAI CINTA ABADI oleh: Misbach Tamrin
Sebagai kesinambungan daya kreativitas yang tak pernah padam, penyair Erlin Erlina Soraya (EES)  meluncurkan kumpulan puisinya yang kedua. Kumpulan puisi yang pertama  cukup meriwayat. Karena disana terkandung serangkum sajak-sajak awal dimana ia bermula sebagai penyair. Wajar disetiap penampilan  awal selalu mengundang pertanda yang fenomenal. Terutama didalamnya tertuang makna untuk menjadi seorang penyair ia harus melalui suatu proses panjang yang berliku. Dalam arti tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan semata-mata.

Dari mulai ia jatuh sakit yang fatal, ia mengalami hibernasi (tidur panjang) alias istirahat tanpa kegiatan dalam waktu cukup lama. Lantas di masa facum itu terbetik ilhamnya yang mengarah kepada kreativitas untuk mengisi kekosongan kegiatan yang sangat menjemukan itu. Setelah mengotak-atik handpone iapun mengenal fesbook.  Melalui fesbook ia temukan pintu jalan tidak hanya  membuka mata pandangan di keluasan dunia maya. Tapi juga membuka mata hatinya untuk secara peka merespon setiap sentuhan atau getaran dari berbagai gelombang dunia seni yang mengombak di hadapan, bagai mainan warna (caleidoscopis) yang sangat menarik baginya.

Hingga jauh di luar dugaannya semula, ia tak hanya berpapasan dengan banyak fesbukers yang menjadi sahabat. Namun juga berjumpa dengan para penemu dan penunjang bakatnya yang selama ini terpendam. Sebut nama mulai Johar Arifin, Abdul Kohar Ibrahim (AKI) almarhum dan saya sendiri. Betapapun kepenyairan EES tumbuh oleh peran aktif potensi kemandiriannya sendiri selaku faktor dalam yang menentukan. Namun ketiga nama tersebut di atas cukup membantu sebagai faktor luar yang mempengaruhi terbinanya bakat seni yang dimilikinya. Bahkan ketika kepenyairannya sedang menanjak, menyusul secara berbarengan bakat senirupanya yang tak kalah produktif dengan puisinya. Sehingga sekarang saya sulit menandai apakah EES adalah seorang penyair yang melukis, ataukah pelukis yang menyair atau berpuisi. Jelasnya kedua bakat seninya itu saling mengisi secara berjalinan. Begitulah fenomena secara ringkas yang berkaitan dengan penampilan awal EES sebagai penyair yang relatif tertuang dalam semangat kumpulan pertama puisinya yang berjudul"Serangkum Puisi Penggugah Jiwa."

Jika dalam buku kumpulan puisi yang pertama padat terisi dengan berbagai tema diluar dari ekspresi jiwanya tentang pengalaman pribadi. Misal sajak-sajak tentang sosok seseorang yang dikagumi dan disayangi, tentang TKW dan tentang para pejuang pembela kebenaran dan keadilan. Maka dalam kumpulan puisinya yang kedua, betapapun masih sama tetap digelimangi oleh nuansa religiusitas yang kuat dan tinggi. Namun terjadi perubahan mendasar secara keseluruhan.

Pada kumpulan puisi yang kedua ini, hampir sepenuhnya terkandung mainstream ungkapan pernyataan pribadinya secara subyektif. Kali ini ia lebih banyak menggeluti kedalam jeroan kalbunya yang tengah terguris oleh sentuhan luka kepedihan tak tertahankan. Kita maklumi adalah wajar bahwa setiap ganjalan yang membenam di hati sanubari seseorang, memerlukan terapi jalan keluar untuk menumpahkannya.Ibarat duri yang bersarang dalam daging harus dicabut keluar walaupun melalui sentakan yang sangat menyakitkan. Nah, begitulah kesan saya ketika membaca sajak-sajaknya dalam kumpulan puisinya yang kedua ini.

Puisi baginya adalah curahan hati dengan segenap kandungannya. Siapa yang tak akan terharu tatkala merasakan sentuhan getaran duka kehilangan cinta yang selama ini telah bersatu menjadi denyut jantung dan desah nafasnya. Seperti tercermin dari kata sang penyair: "kehilangan segantang cinta yang aku simpan." Namun karena kedewasaan dan kematangan jiwanya,ia bukan penyair yang terbuai oleh rintihan suara hati yang patah. Seperti aura patah hati yang banyak didengungkan oleh lagu-lagu dangdut dan pop remaja. Ia menyikapinya dengan jiwa tangguh dan tegar bahwa yang telah terjadi baginya adalah pengalaman yang berharga demi perjalanan hidup kedepan. Adalah merupakan cobaan yang berarti dan bermanfaat yang diturunkan oleh Yang Maha Kuasa dalam keyakinannya.

Ia telah teruji oleh tantangan dan derita,seperti yang banyak disematkannya dalam kumpulan puisinya yang pertama. "Kau tahu aku hanya bertahan disetiap pijak, meski tanpanya, tak takut menghadapi hidup, meski kian samar",sebaris sajaknya dengan tabah menyunting tentang kehilangan. Betapa haru dan indah ia melukiskan perpisahan cinta dalam puisinya: "Saat mataku melihatmu begitu pesona. Kau lambaikan tangan selamat tinggal. Bahwa s esungguhnya kau telah pergi dari sejak kau katakan:aku cinta".

Demikianlah jiwa sang penyair yang mengagungkan cinta begitu sublim, semacam cinta platonis tak terjangkau dalam kumpulan puisinya yang kedua ini. Suatu aura perasaan level tinggi yang pantas untuk disyairkan. Karena betapapun ia tak terhindarkan dari libatan permainan cinta kebanyakan yang bersifat manusiawi. Namun dalam titik simpul puisinya selalu terproyeksi secara vertikal keatas, kepada kekuatan takdir yang menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Seperti ia katakan: "Biar aku seperti pemburu cinta di tiap malam sepertiga." Maksudnya tentu yang ia buru bukan cinta kebanyakan bernuansa manusiawi yang tak pernah kekal. Baginya adalah selaku seorang penyair yang begitu idealis, hanya ada tugas mulia yang menjadi kewajibannya yang tak pernah lalai : "Di taman Mu ku semai cinta abadi"......  
                                                                                       ***
                                                                                                                                             Lido, 1 Mei 2015

CATATAN ABAH MISBACH TAMRIN UNTUK ANTALOGI PUISIKU


DI TAMANMU KUSEMAI CINTA ABADI oleh: Misbach Tamrin
Sebagai kesinambungan daya kreativitas yang tak pernah padam, penyair Erlin Erlina Soraya (EES)  meluncurkan kumpulan puisinya yang kedua. Kumpulan puisi yang pertama  cukup meriwayat. Karena disana terkandung serangkum sajak-sajak awal dimana ia bermula sebagai penyair. Wajar disetiap penampilan  awal selalu mengundang pertanda yang fenomenal. Terutama didalamnya tertuang makna untuk menjadi seorang penyair ia harus melalui suatu proses panjang yang berliku. Dalam arti tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan semata-mata.

Dari mulai ia jatuh sakit yang fatal, ia mengalami hibernasi (tidur panjang) alias istirahat tanpa kegiatan dalam waktu cukup lama. Lantas di masa facum itu terbetik ilhamnya yang mengarah kepada kreativitas untuk mengisi kekosongan kegiatan yang sangat menjemukan itu. Setelah mengotak-atik handpone iapun mengenal fesbook.  Melalui fesbook ia temukan pintu jalan tidak hanya  membuka mata pandangan di keluasan dunia maya. Tapi juga membuka mata hatinya untuk secara peka merespon setiap sentuhan atau getaran dari berbagai gelombang dunia seni yang mengombak di hadapan, bagai mainan warna (caleidoscopis) yang sangat menarik baginya.

Hingga jauh di luar dugaannya semula, ia tak hanya berpapasan dengan banyak fesbukers yang menjadi sahabat. Namun juga berjumpa dengan para penemu dan penunjang bakatnya yang selama ini terpendam. Sebut nama mulai Johar Arifin, Abdul Kohar Ibrahim (AKI) almarhum dan saya sendiri. Betapapun kepenyairan EES tumbuh oleh peran aktif potensi kemandiriannya sendiri selaku faktor dalam yang menentukan. Namun ketiga nama tersebut di atas cukup membantu sebagai faktor luar yang mempengaruhi terbinanya bakat seni yang dimilikinya. Bahkan ketika kepenyairannya sedang menanjak, menyusul secara berbarengan bakat senirupanya yang tak kalah produktif dengan puisinya. Sehingga sekarang saya sulit menandai apakah EES adalah seorang penyair yang melukis, ataukah pelukis yang menyair atau berpuisi. Jelasnya kedua bakat seninya itu saling mengisi secara berjalinan. Begitulah fenomena secara ringkas yang berkaitan dengan penampilan awal EES sebagai penyair yang relatif tertuang dalam semangat kumpulan pertama puisinya yang berjudul"Serangkum Puisi Penggugah Jiwa."
Jika dalam buku kumpulan puisi yang pertama padat terisi dengan berbagai tema diluar dari ekspresi jiwanya tentang pengalaman pribadi. Misal sajak-sajak tentang sosok seseorang yang dikagumi dan disayangi, tentang TKW dan tentang para pejuang pembela kebenaran dan keadilan. Maka dalam kumpulan puisinya yang kedua, betapapun masih sama tetap digelimangi oleh nuansa religiusitas yang kuat dan tinggi. Namun terjadi perubahan mendasar secara keseluruhan.

Pada kumpulan puisi yang kedua ini, hampir sepenuhnya terkandung mainstream ungkapan pernyataan pribadinya secara subyektif. Kali ini ia lebih banyak menggeluti kedalam jeroan kalbunya yang tengah terguris oleh sentuhan luka kepedihan tak tertahankan. Kita maklumi adalah wajar bahwa setiap ganjalan yang membenam di hati sanubari seseorang, memerlukan terapi jalan keluar untuk menumpahkannya.Ibarat duri yang bersarang dalam daging harus dicabut keluar walaupun melalui sentakan yang sangat menyakitkan. Nah, begitulah kesan saya ketika membaca sajak-sajaknya dalam kumpulan puisinya yang kedua ini.
Puisi baginya adalah curahan hati dengan segenap kandungannya. Siapa yang tak akan terharu tatkala merasakan sentuhan getaran duka kehilangan cinta yang selama ini telah bersatu menjadi denyut jantung dan desah nafasnya. Seperti tercermin dari kata sang penyair: "kehilangan segantang cinta yang aku simpan." Namun karena kedewasaan dan kematangan jiwanya,ia bukan penyair yang terbuai oleh rintihan suara hati yang patah. Seperti aura patah hati yang banyak didengungkan oleh lagu-lagu dangdut dan pop remaja. Ia menyikapinya dengan jiwa tangguh dan tegar bahwa yang telah terjadi baginya adalah pengalaman yang berharga demi perjalanan hidup kedepan. Adalah merupakan cobaan yang berarti dan bermanfaat yang diturunkan oleh Yang Maha Kuasa dalam keyakinannya.

Ia telah teruji oleh tantangan dan derita,seperti yang banyak disematkannya dalam kumpulan puisinya yang pertama. "Kau tahu aku hanya bertahan disetiap pijak, meski tanpanya, tak takut menghadapi hidup, meski kian samar",sebaris sajaknya dengan tabah menyunting tentang kehilangan. Betapa haru dan indah ia melukiskan perpisahan cinta dalam puisinya: "Saat mataku melihatmu begitu pesona. Kau lambaikan tangan selamat tinggal. Bahwa s esungguhnya kau telah pergi dari sejak kau katakan:aku cinta".

Demikianlah jiwa sang penyair yang mengagungkan cinta begitu sublim, semacam cinta platonis tak terjangkau dalam kumpulan puisinya yang kedua ini. Suatu aura perasaan level tinggi yang pantas untuk disyairkan. Karena betapapun ia tak terhindarkan dari libatan permainan cinta kebanyakan yang bersifat manusiawi. Namun dalam titik simpul puisinya selalu terproyeksi secara vertikal keatas, kepada kekuatan takdir yang menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Seperti ia katakan: "Biar aku seperti pemburu cinta di tiap malam sepertiga." Maksudnya tentu yang ia buru bukan cinta kebanyakan bernuansa manusiawi yang tak pernah kekal. Baginya adalah selaku seorang penyair yang begitu idealis, hanya ada tugas mulia yang menjadi kewajibannya yang tak pernah lalai : "Di taman Mu ku semai cinta abadi"......   Lido, 1 Mei 2015


                                                                                       ***
                                                                                    

Senin, 09 Maret 2015

PAGI TERANG

Iya, aku pikir, sesederhana itu... Ketulusan tidak menunggu terima kasih, tidak juga mengharap balasan... Bahkan ia tidak memerlukan pembuktian. Hanya kasih sayang dan cinta dasarnya.

Selamat pagi saudaraku terkasih, mari memulai hari dngan senyum syukur dipagi terang... Ketika napas masih terhela lega, tubuh bergerak leluasa.. Alhamdulillah, Allah masih berkenan memanjangkan umur kita.

Selasa, 03 Maret 2015

LUPA

Aku hanya sedang berupaya menang melawan rajarajalara, jalan, lariku, di terjal mendaki...akan kuhenti ditempat tinggi. Pada-Mu kupinta, bantu gores jalanjalan dengan ujung jemari, hingga kutak lupa jalan kembali. -EES-

Senin, 02 Maret 2015

KEMARIN



KEMARIN

Telah tercabut sembilu
pada detik empat belas besar
ketika ribuan perih memanggang dini

Jiwanya telah mati
jauh sebelum raga
entahlah!

kemarin...
entah aku menjelma siapa?

EES, 9 Juni 2013

MENGEJAR ASA


MENGEJAR ASA
oleh Erlin Erlina Soraya

Entah aku pergi menjangakau dunia
meninggalkan yang tumbuh
namun rapuh
meninggalkan mimpi
di sepenggal hari

Denganmu mengejar asa
hingga ke sudut
temaramnya langit senja

Aku melihatmu
di genang air yang bukan keruh
hingga bisa kubercermin di sana
terlihat aku yang berbalut nylon menjelma sutera
dan yang saat seperti belia

Adalah aku
yang dulu seperti hanyut di laut
saat pekatnya malam menggigit raga
pada bayang bulan aku berpeluk
hingga datang siang berselimut asa

BNA Wanadadi 27072013

BIAR MERAH, AKU JAGA

BIAR MERAH, AKU JAGA
oleh Erlin Erlina Soraya

Kenapa kau membacaku dengan merah, semenjak hujan semalam kau menghilang... Mencarimu, hingga ke sudut jingga, hanya kelam yang aku temukan. Hanya seketika saja kau memerah bersamaku, setelah sudah...kau kembali pada entah.

Merindukanmu malam ini, biar kerlip cahaya bintang jadi pengganti...Dan biasnya bulan menemani. Hingga merah yang tertinggal akan jadi yang terindah ketika kuingat, meski sekelebat. Takkan terlupa ketika kita sama-sama tersenyum, aku, kau, yang sudah jadi sebingkai lukisan. Tak terpisahkan.

Aku suka ketika tiba-tiba saja kau menjadi merah jambu serupa hatiku, yang perlahan menjadi merah rona sebab cinta tak terluka. Dan hingga kau pergi aku pun rela, sebab kau yang kucinta ada pemilik-Nya. Biar merah kita kujaga hingga kuterlupa, kau...adalah satu-satunya.

BNA Wanadadi 01082013